Kamis, 12 Maret 2015

Nyata

Kerinduan yang sering mengusik kalbu
Sering tak tertahankan lagi…
Kala membayangkan kehadiran dirimu disisiku
Kurindu dengan lembutnya cinta dan hangatnya kasih yang datang darimu
Tapi…entahlah…
Hingga kini tak kutemui juga sosokmu
Yang mampu memadamkan api kerinduan yang begitu menyala
Sepi…menggugat kehadiranmu
Menuntut sosokmu menjadi nyata
Berjalan di sampingku
Menggenggam tanganku
Dan menjadi semangat dalam menapaki masa depanku
Tapi…
Sosokmu tetap tak pernah menjadi nyata
Di sisiku…
Mataram, 27 Agustus 2010

Ulat

Dunia rasanya berputar saat aku sadar, bahwa ternyata selama ini aku hanyalah ulat kecil yang melingkar di dalam gulungan daun hijau. Muram dan gelap, tanpa ada yang mengetahuinya.
Harapan ketika suatu saat aku akan berubah menjadi kupu-kupu rasanya seperti berjalan di jalan yang penuh dengan pasir, duri dan batu. Bergelung selalu di dalam selimut daun yang dibuat untuknya sendiri.
Suatu ketika dalam masa penantian akan pandang kehidupan yang lebih baik, ternyata hanyalah onggokan pola pikir rumit yang menyesatkan.
Aku tersesat.
Tersesat dalam ruangan yang terlalu terang menyilaukan.

HUJAN SORE INI


Sesaat kami sadar dengan rima kehidupan ini yang tak pernah bisa ditebak. Seperti kami pasrah saat gelombang itu datang dan menghanyutkan semua mimpi dan angan. Menghempaskan diri pada batu-batu karang kenyataan yang kasar dan berlubang.
Sering kami bertanya sendiri pada embun yang menggantung di ujung pagi atau pada hujan kala ia turun menyirami setiap kenangan yang pernah terhampar dalam benak dan padang-padang ilalang kisah kami.
Jika kami memang pilihan, hadiah apa yang akan menanti kami di akhir zaman Tuhan?
Pantaskah kami meminta imbalan atas apa yang telah kami dapatkan di dalam drama kehidupan yang Kau ciptakan. Atau memang inilah yang kami inginkan sebenarnya, tatkala kami mendesakmu menurunkan roh-roh kami dalam jasad-jasad nyata di muka bumi.
Kami menjadi pendusta yang nyata ketika semua terhampar di depan mata. Ketika semua perlahan membangkitkan kesadaran dalam otak kami yang kecil, yang terisi seujung jari celupan air kami dari lautan ilmu-Mu yang luas.
Kami bahkan menjadi penentang yang berbahaya ketika kesadaran itu lenyap dan hati kami menjadi hati yang ternoda dan buta. Kami mengkhianati-Mu, mereka dan diri kami sendiri. Bahkan saat timbul kesadaran itu bahwa hati kami tertutup dan berkata pada diri sendiri, bahwa kami, kami-lah yang benar.
Jika kami memang pilihan, apa yang akan menanti kami di akhir zaman Tuhan?
Setiap tetesan sisa hujan, selalu menyakitkan untuk dikenang. Ia membungkus semua kenangan-kenangan dalam kehidupan kami yang terindah, yang mungkin bahkan jarang kami cicipi untuk sekedar melepas dahaga batin yang gersang. Hujan sore ini, Kau turunkan sungguh menjadi suatu anugrah dalam kehidupan kami yang sempit dan kecil.
Hati ini merana dan sedih, tersiksa kenangan dan warna dari perjalanan kehidupan yang tak akan mampu terhampus gelombang laut yang kejam. Dan hati ini begitu tersiksa rindu yang tak begitu kami mengerti dan tak berkesudahan. Apakah rindu akan terhenti jika sudah bertemu dengan yang kami cintai? Rindu itu, sungguh lebih menyedihkan.
Ampuni kami ya Tuhan kami, jika cuma kata ini yang mampu kami sampaikan untuk-Mu sore ini…

Selagalas, 19 September 2010
(untuk saudara-saudaraku: that’s our life…) 

Rabu, 11 Maret 2015

Surat Kepada Seorang Jenderal


Kepada malam kusambut setiap isapan rokok yang menempel di antara dua jarimu
Yang asapnya menari di depan wajah tuamu yang menyaksikan setiap adegan pembantaian itu
Pembantaian diri, pembantaian batin, pembataian harga diri
Sudah lama senjata itu tersembunyi dalam sarung tuanya di atas lemarimu yang juga tua
Tak ada isi, mati
Jenderal, salam hormat kukirimkan untukmu
Penghormatan akan tanda – tanda jasamu yang tertata rapi dan terbingkai di dinding kamarmu
Sebagai kenangan atas perjalanan dan perjuanganmu membela negeri ini
Penghormatan akan penghargaanmu kepada keluargamu yang kautinggalkan untuk tugas negara
Jenderal, kusambut malam dengan asap rokokmu yang memelintir segenap bayangan diri akan perang itu
Perang mata hati yang membuka kesadaran akan perjuangan
Adalah salah apabila menilai kau memenangkan perang itu
Karena sebenarnya kekalahan itu sudah ada sebelum hadirnya perang dalam kehidupanmu
Malam tidak menangis untukku, pun juga pagi tak setiap saat membangunkanku
Aku bukan prajuritmu, aku bukan anak buahmu
Aku berasal dari harapan yang tak kau duga, Jenderal.
Aku menyadari bahwa ini bukanlah kalimat – kalimat yang kau inginkan menjelang hari tuamu
Di hari dimana tanganmu tak lagi mengangkat senjata
Kakimu tak lagi merasakan panasnya ranjau darat
Punggungmu tak lagi terbebani ransel berat
Tenggorokanmu tak lagi menelan berkaleng – kaleng ransum
Hari ketika waktu yang ada kau isi dengan memberi makan ayam – ayam hutan peliharaanmu
Mengecat dinding rumahmu yang kokoh
Dan mengisap rokok A Mild di tangga kayu lumbung padi belakang rumah

Perjalanan




Maaf, mungkin ini bukan yang terbaik untukmu
Hanya berusaha untuk mencoba
Kata – kata ini bukan untukmu
Karena aku tahu ini tak pantas untukmu
Maaf, bukan aku ingin menangkap angin
Atau menjaring bulan
Karena aku tahu kau tak mau
Dan kau tak pantas mendapatkannya
Maaf, beribu maaf
Maaf, sejuta maaf
Mungkin tak pantas kukatakan
Karena aku tahu kau tak perlu akan itu
Tapi, aku harus
Harus terus berjalan
Sampai suatu ketika panas membuatku lelah
Dan berhenti

Entah

Ini Cinta?
Mungkin ini embun
Sebab, sejuknya datang di paginya hari
Menetes, merembes, mengaliri semangat dengan dinginnya
Kubah itu, kubah kenangan
Ini cinta?
Ingatkah kau teman, akan tawaku di sana??
Tulus untukmu..
Kisahku, kubagi bahagia denganmu, tanpa cemas, dan takut...
Indah, senang dan semangat kau berikan padaku, dengan polosmu, senyum ikhlasmu...
Ini Cinta?
Ingatkah kau teman, akan kubah itu
Kubah kenangan, sejuta manis ada di sana...
Candamu, cintanya jadi satu...
Sampai mentari bergerak ke Barat
Dan senja menyanyikan lagu perpisahan
Sampai harapan kan bertemu lagi, sampai membentuk menjadi mimpi
Teman, ingatkah kau akan embun, kubah, senja, yang pernah kau berikan padaku....
Ini cinta?